Salah Paham Dan Jawabannya
SALAH PAHAM DAN JAWABANNYA
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Sepuluh tahun setelah saya menulis pendahuluan edisi pertama (buku Sifat Shalat Nabi,-peny), saya melihat adanya dampak yang baik pada kalangan pemuda pemuda beriman karena mereka mendapatkan petunjuk tentang kewajiban kembali kepada sumber-sumber Islam yang murni dalam urusan agama dan ibadah mereka. Sumber-sumber itu ialah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami bersyukur kepada Allah bahwa para pemuda yang mempraktekkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beribadah berdasarkan sumber ini semakin bertambah sehingga mereka mengenal dengan baik agamanya. Akan tetapi, saya merasakan adanya sebagian dari mereka yang bersikap ragu-ragu untuk mengamalkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , padahal tidak diragukan lagi adanya kewajiban semacam itu, apalagi setelah kami mengemukakan ayat ayat dan riwayat-riwayat dan enam madzhab yang memerintahkan kembali kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu disebabkan adanya isu-isu negatif yang dihembuskan oleh para ulama yang bertaqlid kepada madzhab sehingga mereka menjadi salah paham (terhadap kewajiban kembali kepada Sunnah). Oleh karena itu, di sini saya memandang perlu mengajukan isu-isu tersebut disertai sanggahannya agar sebagian pemuda yang ragu-ragu mengamalkan Sunnah terdorong untuk melaksanakannya, sehingga mereka dapat masuk ke dalam golongan yang selamat dengan idzin Allah.
Pertama : Sebagian orang berkata, memang tidak diragukan adanya keharusan untuk kembali kepada petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam urusan agama kita, terutama sekali berkaitan dengan ibadah-ibadah murni yang tidak menjadi bidang garap akal dan ijtihad, sebab bidang tersebut merupakan hal yang tauqifi (diterima apa adanya), seperti shalat. Akan tetapi, kita nyaris tidak pernah mendengar seorang pun ulama yang bertaqlid memerintahkan untuk melakukan hal tersebut, bahkan kami lihat mereka selalu menyetujui adanya berbagai perselisihan dan menganggap hal semacam itu sebagai kebebasan umat.
Alasan mereka didasarkan pada sebuah Hadits yang selalu mereka ulang dalam setiap kesempatan, yaitu Hadits:
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat‘.
Untuk membantah pendapat pendukung Sunnah Nabi, padahal Hadits tersebut bertentangan dengan jalan yang Anda (Al-Albani) tempuh dalam buku sifat shalat yang Anda susun dan buku-buku lainnya. Oleh karena itu, bagaimana pendapat Anda terhadap Hadits tersebut?
Jawaban.
1. Hadits tersebut tidak sah, bahkan batil dan tidak ada sumbernya.
Imam Subki berkata:
“Saya tidak melihat Hadits tersebut mempunyai sanad yang sah, atau dha’if, atau palsu.”
Aku (Al-Albani) menyatakan:
“Hadits yang ada lafadznya adalah:
اخْتِلَافُ أَصْحَابِيْ لَكُمْ رَحْمَةٌ
“Perbedaan pendapat di kalangan sahabatku (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah rahmat bagi kamu sekalian”.
Hadits lain berbunyi :
أَصْحَابِي كَالنُّجُومِ , فَبِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمُ اهْتَدَيْتُمْ
“Para sahabatku laksana bintang di langit. Siapa pun di antara mereka yang kamu ikuti, niscaya kamu mendapatkan petunjuk”.
Kedua Hadits ini tidak sah. Hadits pertama sangat lemah dan Hadits kedua palsu. Saya telah menjelaskan analisa terhadap Hadits ini dalam Kitab Adh-Dha’ifah Hadits no. 58, 59 dan 61.
2. Hadits palsu tersebut di atas bertentangan dengan Al-Qur’an karena ayat-ayat Al-Qur’an melarang berselisih pendapat dalam urusan agama dan menyuruh bersatu. Ayat-ayat tentang hal tersebut sudah sangat populer. Akan tetapi, tidaklah mengapa di sini saya paparkan sebagian sebagai contoh, yaitu firman Allah dalam Qs. Al-Anfal (8) ayat 46:
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
“Janganlah kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu.”
Allah juga berfirman dalam Qs. Rum (30) yat 31-32:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴿٣١﴾ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang musyrik, yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolongan-golongan. Setiap golongan membanggakan apa yang ada pada mereka.”
Allah berfirman dalam Qs. Hud (11) ayat 118-119:
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ ﴿١١٨﴾ إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Mereka terus-menerus berselisih kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Tuhanmu”
Jadi, hanya orang-orang yang mendapat rahmat dari Tuhanlah yang tidak berselisih. Oleh karena itu, mereka yang berselisih adalah golongan yang bathil. Bagaimana akal bisa menenima bahwa perselisihan dan perbedaan merupakan suatu rahmat, (padahal Allah melarang perbuatan semacam itu)?
Sudahlah jelas bahwa Hadits tersebut tidak sah, baik sanad maupun matannya. Oleh karena itu, sudahlah jelas bahwa kita tidak boleh bersikap ragu-ragu dan bimbang, sehingga tidak mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang diperintahkan oleh para imam madzhab.
Kedua : Sebagian lain berkata, jika perselisihan dan perbedaan pendapat dalam agama dilarang, lalu bagaimana pendapat Anda terhadap perbedaan dan perselisihan pendapat di kalangan para sahabat, para imam, dan ulama-ulama sesudahnya? Adakah perbedaan antara perselisihan dan perbedaan faham yang terjadi di kalangan mereka dan di kalangan ulama-ulama mutaakhir?
Jawab : Memang ada perbedaan mendasar di antara kedua perbedaan tersebut. Hal ini dapat dikemukakan penjelasannya sebagai berikut:
- Tentang sebab-sebabnya, dan
- Tentang dampaknya.
Perbedaan di kalangan para sahabat terjadi karena semata-mata darurat dan merupakan hal yang naluriah dalam memahami sesuatu, bukan sebagai sesuatu yang sengaja diciptakan untuk berselisih dan berbeda pendapat. Di samping itu, ada faktor-faktor lain yang mendorong munculnya perbedaan itu pada masa mereka. Memang muncul pada mereka perbedaan pendapat, tetapi kemudian hilang[1]. Perbedaan pendapat semacam mi memang tidak mungkin diselesaikan seluruhnya dan mereka yang berbeda pendapat ini tidaklah dapat dikatakan berbuat tercela karena menyalahi ayat-ayat di atas atau ayat lain yang semakna dengan itu, sebab mereka melakukan hal tersebut tidaklah dengan sengaja atau bermaksud mempertahankan perbedaan dan perselisihan. Oleh karena itu, para sahabat tidak dikatakan berbuat salah.
Adapun perbedaan dan perselisihan pendapat yang terjadi di kalangan kaum muqallid (pembeo imam atau ulama) pada umumnya adalah perbuatan yang tidak dapat dimaafkan. Demikianlab sebab mereka ada yang sudah mengetahui adanya keterangan dan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapat mereka, tetapi ternyata mereka menggunakan ayat-ayat itu untuk mendukung madzhabnya sendiri dan menyalahkan madzhab yang lain. Jadi, perselisihan dan perbedaan pendapat disini bukan karena dalil, tetapi karena perbedaan madzhab itu sendiri. Yang menjadi sumber perselisihan dan perbedaan adalah madzhab itu sendiri. Seakan-akan madzab mereka itulah yang benar atau merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang madzhab lainnya adalah agama-agama yang telah dihapuskan oleh madzhab mereka.
Yang lain lagi punya pendapat sebaliknya. Mereka memandang bahwa semua madzhab dengan segala macam perbedaan yang begitu banyak adalah sebagai Syari’at yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan, oleh sebagian ulama mutaakhir:[2]
“Tidak salah bila seorang muslim mengambil pendapat mana saja yang disukainya dan meninggalkan yang lain, karena semua itu ada Syari’at juga.” Mereka melestarikan perbedaan dan perselisihan pendapat yang terjadi di antara madzhab-madzhab itu dengan alasan Hadits yang bathil: “Perselisihan pendapat di umatku adalah rahmat.”
Alangkah seringnya Hadits ini kita dengar sebagai dalil mereka.
Sebagian lagi mengakui lemahnya Hadits ini, tetapi mengemukakan alasan bahwa perselisihan dan perbedaan pendapat memang merupakan rahmat, karena memperluas cakrawala umat dan memberikan kelonggaran. Alasan semacam ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut di atas dan fatwa para imam madzhab sebelumnya. Sebagian imam tersebut dengan tegas menolak, sebagaimana kata lbnul Qasim:
“Saya pernah mendengar Malik dan Laits berkata tentang terjadinya perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ujarnya:
‘Tidak seperti yang dikatakan oleh orang-orang itu. Perbedaan pendapat tidaklah memberikan kelongga ran untuk men gikuti semuanya, tetapi pendapat yang berbeda itu ada yang salah dan ada yang benar”[3]
Asyhab berkata: “Imam Malik pernah ditanya orang berkaitan dengan seseorang yang mengambil Hadits dan orang yang kepercayaan, dan sahabat Rasulullah : ‘Apakah menurut pendapat Anda hal semacam ini sebagai suatu kelonggaran untuk mengambil semuanya?”
Jawabnya : Tidak. Demi Allah, yang diambil adalah yang benar dan yang benar itu hanya satu. Dua pendapat yang berbeda tidaklah dapat dikatakan dua-duanya benar, yang benar itu hanyalah satu.[4]
Al-Muzani, seorang murid Imam Syafi’i, berkata:
“Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda pendapat, tetapi ternyata yang satu menyalahkan yang lain dan yang satu meneliti pendapat yang lain dan memberikan penilaiannya. Sekiranya pendapat semua sahabat itu benar, tentulah mereka tidak saling mengoreksi dan menilai mana yang salah dan mana yang benar. ‘Umar bin Khathab pernah marah kepada Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud karena perbedaan mereka mengenai orang shalat yang rnenggunakan satu kain saja. Ubay mengatakan: “Shalat dengan menggunakan satu kain saja sudah baik,” tetapi Ibnu Mas’ud berkata:
“Hal seperti itu kurang.” ‘Umar lalu keluar dengan marah seraya berkata: “Dua orang sahabat Rasulullah berselisih tentang hal yang dilihatnya dan dicontohnya dan Nabi . Di sini yang benar adalah Ubay bin Ka’ab, tetapi Ibnu Masud juga tidak ngawur. Aku tidak ingin lagi mendengar seseorang yang memperselisihkan hal ini sesudah hari di mana aku berdiri ini melainkan aku akan ambil tindakan yang demikian dan demikian kepadanya.”[5]
Imam Muzani berkata pula:
“Bila orang membenarkan adanya perbedaan pendapat dan berangggapan bahwa dua orang ulama yang melakukan ijtihad, yang satu menyatakan haram, sedangkan yang satunya mengatakan halal, lalu dikatakan kedua-duanya itu benar, apakah pendapat semacam ini didasarkan pada nash agama atau pada qiyas? Jika orang mengatakan hal itu didasarkan pada nash, kepadanya dapat ditanya lebih lanjut bagaimana hal semacam itu dikatakan berdasar kepada nash, padahal Al-Qur’an menentang adanya perselisihan pendapat. Kalau Anda menjawab dasarnya adalah qiyas, lebih lanjut dapat diajukan pertanyaan: Bagaimana dengan nash-nash yang menentang perselisihan, sedangkan Anda membolehkan adanya perselisihan pendapat berdasarkan qiyas? Sikap semacam ini jelas tidak dapat diterima oleh orang yang berakal, apalagi oleh seorang ulama.”[6]
Jika ada orang yang berpendapat bahwa kutipan Anda dan Imam Malik yang menyatakan kebenaran itu hanya satu, tidak bermacam macam, hal itu berlawanan dengan apa yang tersebut dalam buku Al-Madkhal Al Fiqhi karya Ustadz Zarqa (1/89):
“Abu Ja’far Al-Manshur, kemudian Khalifah Harun Al-Rasyid sebagai pelanjutnya, keduanya ingin sekali menjadikan madzhab Imam Malik dan Kitab AI-Muwaththa’-nya sebagai kitab undang undang pengadilan di wilayah Khalifah Abbasiyah, tetapi Imam Malik menolak kemauan kedua khalifah tersebut dan beliau mengatakan:
“Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai pendapat yang berbedabeda pada masalah furu’ dan mereka telah terpencar-pencar di berbagai negeri dan semuanya benar.’ Lalu bagaimana pendapat Anda?”
Saya jawab : Kisah dan Imam Malik ini menang sangat terkenal. Akan tetapi, ucapan beliau pada bagian terakhir, yaitu “semuanya benar,” adalah suatu ucapan yang tidak saya ketahui asal-usul sumbernya sejauh sumber-sumber yang dapat saya ketahui[7]. Hanya ada satu riwayat sebagaimana tersebut dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Kitab A1-HiIyah juz 6 hlm. 332. Dalam sanad riwayat ini terdapat seorang yang bernama Miqdam bm Dawud. Rawi ini termasuk salah seorang rawi yang disebutkan Imam Dzahabi dalam Kitab Adh-Dhu’afa (kumpulan rawi dha’if). Selain itu, kalimat tersebut sebenarnya berbunyi: “Semua pendapat itu menurut masing-masing adalah benar.” Di sini Imam Malik mengatakan; “Menurut masing-masing,” yang berarti bahwa apa yang disebut dalam Kitab Madkhal itu kurang, karena bagaimana mungkin ucapan itu muncul dari beliau, padahal ucapan tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat orang-orang yang terpercaya, dan Imam Malik, bahwa beliau mengatakan yang benar itu hanya satu, tidak bermacam-macam, seperti telah dijelaskan di atas. Demikianlah pendapat yang diikuti semua tokoh sahabat, tabi’in, imam madzhab empat yang ahli ijtihad, dan lain-lain.
lbnu ‘Abdul Barr dalam kitabnya juz 2 hIm. 88 berkata:
“Kalau kebenaran itu ada pada dua pihak yang berbeda, tentulah kalangan salaf yang satu tidak menyalahkan yang lain dalam urusan ijtihad, putusan peradilan, dan fatwa mereka. Akal tidak mau menerima adanya dua hal yang bertentangan dianggap keduanya benar. Sungguh sangat indah apa yang dikatakan orang di bawah ini:
“Mengakui dua hal yang saling berlawanan dalam satu masalah adalah sesuatu yang tak masuk akal yang paling tercela.”
Jika ada yang berpendapat, sekiranya riwayat yang dikatakan dan Imam Malik itu bathil, mengapa Imam Malik bersikap enggan menerima tawaran Khalifah Al-Manshur untuk menyatukan pendirian semua orang dengan Kitabnya Al-Muwaththa’ dan beliau tidak menjawab semacam itu kepadanya?
Saya jawab : Riwayat terbaik yang saya temui adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Syarah Ikhtishar ‘Ulumil Hadits hlm. 31, bahwa Imam Malik berkata:
“Para ulama telah mengumpulkan dan mengetahui perkara perkara yang tidak kami ketahui.”
Hal ini membuktikan betapa besar kesadaran beliau dan keluasan ilmunya, sebagaimana dinyatakan oleb Ibnu Katsir.
Yang jelas, perselisihan dan perbedaan pendapat itu seluruhnya buruk, bukan merupakan suatu rahmat. Oleh karena itu, ada perbedaan pendapat yang menimbulkan dosa, seperti perbedaan pendapat yang timbul karena sikap fanatik madzhab, tetapi ada juga perbedaan pendapat yang tidak menimbulkan dosa, seperti perbedaan pendapat di kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam. Semoga Allah memasukkan kami dalam golongan mereka dan diberi taufik untuk mengikuti jejak mereka.
Jadi, jelaslah bahwa perbedaan dan perselisihan pendapat di kalangan sahabat berbeda dengan yang terjadi di kalangan ahli taqlid.
Ringkasnya, para sahabat berbeda dan berselisih pendapat karena darurat, namun mereka menolak perbedaan dan perselisihan pendapat itu sendiri dan menghindarkan diri dan hal semacam itu, selama mereka mendapatkan jalannya.
Adapun golongan ahli taqlid, sekalipun mereka memiliki kesempatan untuk menghindarkan diri dan perbedaan dan penselisihan pendapat, tennyata. mereka tidak mau bersepakat dan menempuh jalan ke sana, bahkan mereka terus mengokohkan keadaan semacam itu. Oleh karena itu, sungguh semakin jauh jurang perbedaan dan penselisihan pendapat di antara mereka.
lnilah perbedaan yang membedakan antara para sahabat dan golongan salaf dengan ahli taqlid dilihat dan sebab timbulnya perbedaan dan perselisihan pendapat.
Adapun sisi dampaknya sudahlah sangat jelas. Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’, ternyata tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan, dan tidak bercerai-berai. Sebagai contoh mengenai membaca bismillaah dengan keras. Sebagian sahabat menyatakan boleh dan sebagian lagi menyatakan tidak boleh. Ada pula masalah angkat tangan bersamaan dalam takbir dalam shalat, ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat tidak. Juga masalah menyentuh perempuan setelah wudhu, ada yang berpendapat batal dan ada yang berpendapat tidak. Sekalipun demikian mereka tetap shalat berjamaah di belakang seorang imam dan tidak mau meninggalkan imam yang dianggap berbeda pendapat dengan dirinya.
Golongan ahli taqlid, karena perbedaan pendapat yang tidak dapat dipertemukan sama sekali, menyebabkan barisan kaum muslim bercerai-berai, padahal rukun Islam yang terpenting sesudah dua kalimat syahadat adalah shalat. Orang yang berbeda madzhab tidak mau shalat berjamaah di belakang imam yang tidak sama madzhabnya dengan alasan imamnya bathil atau setidak-tidaknya melakukan hal-hal yang berbeda dengan madzhab makmum. Hal ini pernah kami dengar dan kami saksikan sendiri seperti juga yang disaksikan oleh orang lain[8]. Bagaimana tidak terjadi dampak negatif semacam itu, karena sebagian dari kitab-kitab madzhab yang terkenal dewasa ini menerangkan hal ini bathil, hal ini makruh, sehingga akibatnya di suatu masjid jami’ didirikan shalat berjama’ah empat kali karena mengikuti empat madzhab. Anda bisa melihat beberapa orang tengah duduk menantikan datang imamnya, sedangkan kelompok lain sedang shalat dipimpin oleh imamnya.
Bahkan perselisihan dan perbedaan ini mencapai keadaan lebih ekstrim pada segolongan ahli taqlid, misalnya larangan menikah antara pengikut Hanafi dan pengikut Syafi’i. Selanjutnya, muncullah fatwa dan segolongan ulama Hanafi, yang disebut mufti Tsaqalaini. Fatwa ini membolehkan pernikahan antara laki-laki pengikut Hanafi dan perempuan pengikut Syafi’i. Alasannya bahwa perempuan pengikut madzhab Syafi’i ini dapat disamakan dengan kedudukan ahli kitab[9]. Dan fatwa ini dapat dipahami bahwa pernikahan sebaliknya tidak boleh, yaitu bila perempuan dan madzhab Hanafi dan laki-laki dari madzhab Syafi’i, sebagaimana laki-laki ahli kitab tidak boleh menikahi perempuan muslimat.
Itulah dua contoh perbedaan madzhab yang ternyata berpengaruh buruk pada umat akibat perselisihan dan perbedaan ulama mutaakhir yang ternyata terus dipertahankan. Hal ini berbeda dengan perbedaan pendapat kalangan salaf yang tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap umat. Oleh karena itulah, golongan salaf ini merupakan golongan yang selamat karena mereka mematuhi larangan bercerai berai dalam beragama. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh golongan mutaakhir. Semoga Allah memberikan petunjuk jalan yang lurus kepada kita.
Perbedaan dan perselisihan mereka ternyata bahaya dan bencananya tidak hanya menimpa diri mereka, tetapi merembet ke mana-mana, bahkan sungguh amat disesalkan hal tersebut berpengaruh pula sampai ke beberapa negeri kuffar, sehingga mereka terhalangi untuk masuk Islam beramai-ramai. Dalam sebuah buku berjudul Zhulamun minal Gharbi karya Muhammad Al-Ghazali hlm. 200 disebutkan:
“Pada sebuah konperensi di Universitas Princeton, Amerika Serikat, salah seorang pembicaranya ditanya oleh peserta, yang kebanyakannya adalah para orientalis dan para pemerhati masalah masalah Islam:
‘Dengan ajaran apa kaum muslim bisa maju ke pentas dunia? Apakah dengan ajaran Islam yang dipahami golongan Sunni, atau yang dipahami golongan Syi’ah Imamiah atau Syi’ah Zaidiyah,’ padahal di antara mereka sendiri terjadi perselisihan?
Terkadang ada segolongan yang menyelesaikan suatu masalah dengan pemikiran yang modern, tetapi yang lain tetap dengan pemikiran yang kuno dan jumud.
Ringkasnya, para da’i membiarkan objek dakwahnya dalam kebingungan karena mereka sendiri mengalami kebingungan.”[10]
Dalam pendahuluan buku berjudul Hadiyatus Sulthan ila Muslimi Biladi Jaban, karya Muhammad Sulthan Ma’sumi, dia menulis:
“Ada sebuah pertanyaan diajukan kepada saya oleh dua orang muslim bangsa Jepang dari kota Tokyo dan Osaka Jepang Timur, yang isinya:
“Apakah hakikat agama Islam itu? Apakah makna madzhab itu? Apakah orang harus mengikuti salah satu madzhab empat untuk menjalankan lslam?Apakah seseorang harus mengikuti madzhab Malik, atau Hanafi, atau Syafi’i, atau yang lain, atau sama sekali tidak?
Sebab di sini telah terjadi perselisihan yang hebat dan perdebatan yang sengit.’ Ketika ada beberapa orang Jepang yang berpikir jernih hendak masuk Islam, mereka datang ke salah satu organisasi Islam yang ada di Tokyo. Sekelompok muslim India menyatakan kepada mereka, agar mereka (orang Jepang tersebut) memilih madzhab Hanafi karena beliau adalah pelita umat.
Akan tetapi, sekelompok orang dari Indonesia (Jawa) mengharuskan mereka mengikuti Syafi’i. Ketika orang-orang jepang ini mendengar pernyataan mereka, benar-benar mereka merasa heran dan menjadi bingung untuk mewujudkan keinginannya. Di sini masalah madzhab telah menjadi perintang bagi orang lain untuk masuk Islam.”
Ketiga : Segolongan lain beranggapan bahwa yang dimaksud dengan mengikuti Sunnah Nabi. dan tidak mengambil pendapat pendapat imam yang berlawanan dengan Sunnah beliau adalah sama sekali tidak mempedulikan pendapat mereka dan tidak memanfaatkan hasil ijtihad atau pemikiran mereka.
Saya jawab : Anggapan semacam itu sama sekali tidak benar, bahkan sama sekali bathil. Hal ini dapat dibuktikan dan keterangan keterangan di atas. Semua penjelasan yang telah dikemukakan di atas bertentangan dengan anggapan ini. Yang kami serukan ialah bahwa kita tidak boleh menjadikan madzhab sebagai agama dan menempatkannya pada kedudukan Al-Qur’an dan Sunnah dengan pengertian bahwa bila terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat, kita menjadikan madzhab-madzhab tersebut sebagai rujukan untuk mendapatkan hukum-hukum terhadap hal-hal yang baru, seperti yang dilakukan oleh ahli fiqh pada zaman sekarang. Dengan bersumber pada kitab-kitab madzhab, mereka menyusun hukum baru tentang keluarga, pernikahan, thalak, dan sebagainya, tanpa mau merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang haq dan mana yang bathil. Mereka hanya mengikuti semboyan perbedaan pendapat adalah rahmat dan mengambil mana yang ringan dan mudah atau mana yang maslahat menurut anggapan mereka. Alangkah indahnya pernyataan Sulaiman At-Taimi berikut ini:
“Kalau Anda mengambil mana yang enak saja dan setiap pendapat yang dikemukakan setiap ulama, yang Anda dapatkan adalah celakanya saja.”
Sikap semacam ini tentu kami tolak dan hal ini telah menjadi ijma’ ulama yag sejauh pengetahuanku tidak ada perselisihan di antara mereka.
Merujuk pada pendapat-pendapat mereka, memanfaatkan hasil pemikiran mereka, dan menggunakan pendapat mereka untuk menolong memahami kebenaran dalam memilih berbagai perbedaan pendapat yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau untuk memperoleh kejelasan memahami nash agama, tidaklah kami tolak, bahkan kami anjurkan dan kami suruh. Langkah semacam ini merupakan kebaikan yang diharapkan dilakukan oleh orang yang ingin menempuh petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lbnu Abdil Barr dalam kitabnya juz II hlm. 1 72 mengatakan:
“Wahai saudaraku, hendaklah Anda menghafal dan memperhatikan sumber-sumber pokok agama. Ketahuilah, bahwa orang yang bersungguh sungguh menghafalkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukum hukum yang termaktub dalam Al-Qun’an serta pendapat-pendapat ahli fiqh, lalu menjadikannya sebagai penolong untuk melakukan ijtihad, membuka langkah untuk berpikir dan menafsirkan kalimat kalimat yang umum yang mempunyai beberapa pengertian yang ada dalam Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mau membeo kepada seseorang, dan tidak menganggap dirinya sebagai orang yang layak bersikap sebagai ulama dalam menganalisis Sunnah, mengikuti pola mereka dalam melakukan kajian, pemahaman, dan pemikiran, berterima kasih atas usaha mereka yang bermanfaat, memuji mereka karena kebenaran mereka dan begitu banyaknya pendapat-pendapat mereka, tidak menyatakan dirinya selamat dari kesalahan seperti halnya para ulama terdahulu, adalah seorang santri yang berpegang teguh pada tradisi salafush shalih. Orang semacam ini benar dalam langkahnya, terbantu dalam kelurusan berpikirnya, dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. serta petunjuk para sahabat.
Sebaliknya, orang yang berani berpendapat sendiri, menyimpang dari hal-hal yang kami sebutkan di atas, dan menentang Hadits Hadits Nabi dengan ra’yunya serta mengaku sudah mencapai kemampuan untuk benijtihad sendiri, adalah orang yang sesat Lagi menyesatkan. Orang yang tidak mengetahui semua itu dan memberikan fatwa tanpa ilmu adalah lebih buta dan lebih sesat.
“IniIah kebenaran yang tidak lagi tersembunyi. Oleh karena itu, biarkanlah aku mengikuti rambu-rambu Jalan ini.”
Keempat : Di kalangan sebagian ahli taqlid tersebar luas keragu raguan yang menghalangi mereka untuk mengikuti Sunnah yang bertentangan dengan pendapat madzhab-madzhab mereka. Mereka beranggapan bahwa mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti menyalahi pendiri madzhab. Menurut mereka, hal ini berarti mencela imam mereka, padahal mencela sesama muslim tidak boleh, apalagi mencela seorang imam?
Saya jawab: Anggapan semacam ini bathil. Hal ini akibat dari sikap meninggalkan Sunnah, sebab kalau tidak karena itu, tentulah anggapan semacam itu tidak akan mungkin dikemukakan oleh seorang muslim yang berakal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
“Apabila seorang hakim yang menetapkan hukum menghukum dengan berijtihad, Ia mendapat pahala dua jika ijtihadnya benar; dan jika ijtihadnya salah, pahalanya satu.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Hiadits ini menolak anggapan mereka dan menegaskan bahwa perkataan “si fulan salah”, secara agama berarti “si fulan mendapat satu pahala”. Bila orang yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala, lalu mengapa ada anggapan bahwa menyalahkan orang tersebut berarti mencelanya? Anggapan semacam ini tidak diragukan lagi adalah satu pandangan yang bathil yang harus ditarik kembali oleh orang yang mempunyai anggapan semacam itu, sebab kalau tidak, hal itu berarti ia telah mencela kaum muslim, bukan hanya perorangan, tetapi juga tokoh-tokoh imam mereka, baik dan kalangan sahabat, tabi’in, imam-imam mujtahid, maupun lain-lannnya. Kami berkeyakinan bahwa para tokoh tersebut juga pernah saling menyalahkan dan saling membantah[11]. Apakah seseorang yang berakal akan beranggapan bahwa hal semacam itu dapat diartikan mereka saling mencela? Bahkan tersebut dalam riwayat yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyalahkan Abu Bakar ketika dia menakwilkan mimpi seseorang. Beliau bersabda kepadanya:
أَصَبْتَ بَعْضًا وَأَخْطَأْتَ بَعْضًا
“Engkau benar sebagian, tapi engkau salah sebagian.” [HR. Bukhari dan Muslim. Baca Ash-Shahihah, hadits No. 121]
Apakah dengan ucapannya itu berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela Abu Bakar?
Sungguh mengherankan keraguan semacam ini begitu berpengaruh kepada orang-orang. Mereka menolak Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena menyalahi madzhab mereka, sebab dengan mengikuti Sunnah berarti mereka mencela imam mereka, sedangkan mengikuti pendapat imam sekalipun berlawanan dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut mereka, adalah sikap menghormati dan memuliakan imam. Oleh karena itu, mereka terus-menerus melestarikan sikap taqlid dengan alasan agar tidak mencela imam.
Mereka ternyata lupa dan bukan saya katakan pura-pura lupa, karena keraguan semacam ini menyebabkan mereka terjerunus ke dalam keadaan yang lebih buruk lagi daripada keadaan yang ingin mereka hindari. Jika ada orang yang berkata kepada mereka bahwa bila mengikuti seseorang itu berarti penghormatan terhadap yang bersangkutan dan menyalahi pendapatnya berarti mencelanya, pertanyaan kepada Anda ialah: “Mengapa Anda membolehkan menyalahi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mau mengikutinya dengan alasan Anda ingin tetap mengikuti imam madzhab yang berlainan dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal dia bukán orang yang maksum dan mencela orang semacam itu tidaklah dihukum kafir? Jika menurut Anda menyalahi pendapat imam adalah sikap mencela diri yang bersangkutan, menyalahi Rasulullah tentulah merupakan celaan yang lebih berat lagi terhadap beliau. Bahkan hal semacam itu telah membuatnya kafir. Semoga Allah melindungi kita dari hal semacam itu. Sekiranya ada orang yang berkata kepada mereka semacam itu, tentulah mereka tidak akan sanggup menjawabnya. Akan tetapi, sayangnya, ada suatu kata yang sering kali kami dengar dari mereka, yaitu pernyataan: “Kami tinggalkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kami pencaya sepenuh hati kepada imam madzhab kami dan dialah orang yang lebih tahu tentang Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kami”
Jawaban kami terhadap pernyataan seperti itu telah kami paparkan secana panjang lebar dalam kata pendahuluan sebelumnya. Oleh karena itu, di sini kami akan mengemukakan satu jawaban saja secara ringkas dan insya Allah merupakan jawaban telak. Saya katakan:
“Bukan hanya imam madzhab kalian saja yang lebih tahu daripada kalian tentang Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada puluhan, malah ratusan imam yang lebih tahu daripada kalian tentang Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. jika terdapat Hadits shahih yang bertentangan dengan madzhab kalian, sedangkan di antara para imam itu ada yang mengambilnya dari hal ini Anda aku juga, pernyataan Anda di atas sama sekali tidak ada gunanya. Sikap Anda yang sudah menolak akan mendorong Anda untuk. mengatakan: “Kami mengambil Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini karena percaya imam madzhab kami telah mengambilnya. Mengikuti imam yang sesuai dengan Sunnah lebih utama daripada mengikuti imam yang berbeda pendapatnya dengan Sunnah. Hal ini sudahlah jelas dan gamblang, tidak sulit dipahami seseorang, insya Allah.
Oleh karena itu, di sini saya dapat mengatakan: bahwa kitab kami ini, karena di dalamnya terkumpul Hadits-Hadits Nabi yang shahih tentang tata cara shalat beliau, tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengikutinya. Dalam buku ini tidak ada hal-hal yang oleh para ulama disepakati sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan. Bahkan setiap masalah yang tersebut dalam buku ini pasti ada segolongan dari mereka yang menyetujuinya. Bagi yang tidak sesuai dengannya akan termaafkan dan akan diberi satu pahala jika dalam masalah itu tidak ada nash yang tegas atau ada nash tetapi tidak dapat dijadikan hujjah atau alasan-alasan lain yang di kalangan para ulama diketahui sebagai hal yang bisa dimaafkan. Sebaliknya, bila seseorang menemukan adanya nash yang shahih, tidak ada lagi alasan baginya untuk meneruskan taqlidnya, tetapi dia wajib mengikuti nash yang terjaga kesuciannya. lnilah tujuan dan penulisan muqaddimah buku ini. Allah telah berfirman dalam surat Al-Anfal (8) ayat 24:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Wahai orang yang beriman, perkenankanlah seruan Allah dan RasulNya jika kamu diseru kepada hal yang menghidupkan kamu. Ketahuilah, sesungguhnya Allah mengatur seseorang dengan hatinya dan sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”
Allah memfirmankan yang benar dan Dialah pemberi petunjuk ke jalan yang benar serta Dialah sebaik-baik pelindung dan penolong. Semoga semua rahmat dicurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan seluruh alam.
Damaskus, 20/5/1381H
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
[Disalin dari Mukadimah edisi pertama kitab Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallahu “alaihi wa Sallama Min At-Takbiiri Ilaa At-Tasliimi Ka-Annaka Taraahaa, Edisi Indonesia Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penerjemah Muhammad Thalib, Penerbit Media Hidayah]
_____
Footnote
[1] Bacalah Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam oleh Ibnu Hazm, Hujjatullahi Al-Balighah oleh Dahlawi atau kitab khusus dia yang membahas masalah ini dengan judul Aqdu Al-Jayyid Fi Ahkami Al-Ijtihad wa At-Taqlid.
[2] Bacalah Faidhu Al-Qadir, oleh Munawi (1/209) dan Adh-Dha’ifah (Hadits no. 76-77).
[3] lbnu Abdil Bar, Jami’ Bayani Al-’Ilmi (11/81-82)
[4] Idem. (11/82,88, 89)
[5] Idem. (11/83-84)
[6] Idem. (11/89)
[7] Baca Intiqa’ Ibnu ‘Abdul Bar hlm. 41 dan Kasyful Mughaththa, oleh Hafizh Ibnu ‘Asakir hlm. 6-7 dan Tadzkiratul Huffadz (i/l 95) oleh Dzahabi.
[8] Baca bab VIII dan Kitab Ma Ia Yajuzu fihi AI-Khilaf hIm. 65-72. Anda akan menemukan banyak contoh seperti kami kemukakan di sini.
[9] Al-Bahru Ar-Raiq
[10] Saya katakan di sini: “Tulisan-tulisan Muhammad Ghazali yang akhir-akhir ini banyak tersebar di sana-sini seperti bukunya yang berjudui As-Sunnah An-Nabawiyah baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits, di mana dia sendiri termasuk kategori da’i da’i semacam itu, yaitu para da’i yang kebingungan. Sebelumnya kami telah membaca buku ini dan mémberi komentar terhadap beberapa Hadits yang terdapat di dalamnya serta koreksi-koreksi dalam beberapa masalah fiqh.
Sebagian dari tulisan yang ada dalam buku itu penuh dengan hal-hal yang menunjukkan kebingungannya, penyimpangannya dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan menjadikan akalnya sebagai hakim dalam mengesahkan atau mendha’ifkan Hadits. Ia tidak mau berpegang pada dasar-dasar ilmu Hadits atau para ahli dan mereka yang tahu seluk beluk Hadits. Bahkan hal yang sangat aneh dilakukannya ialah menshahihkan Hadits yang jelas-jelas dha if. Akan tetapi, tidak aneh karena kita melihat dia mendhaifkan Hadits-Hadits yang jelas disepakati shahihnya oleh Bukhani dan Muslim sebagaimana dapat Anda baca hal ni dalam komentar saya pada dua muqadimah bukunya berjudul Fiqhus Sirah yang telah saya ben takhrijnya terhadap Hadits-Hadits yang termuat di dalamnya pada cetakan ke-4. Hal itu saya lakukan atas permintaan dia sendiri melalui salah seorang teman saya dan kalangan Al-Azhar. Oleh karena itu, segera saya berikan takhrij buku tersebut, dengan perkiraan bahwa hal itu menunjukkan adanya perhatian dia secara sungguh-sungguh terhadap Hadits-Hadits Nabi dan Sirah Nabi serta ingin memeliharanya dari pemalsuan yang datang dari luar. Sekalipun ia menyatakan pujian terhadap komentar dan catatan saya serta dengan terus terang menyatakan gembiranya dalam komentarnya di bawah judul Haula Aahaadiits Hadzal Kitab, namun dia sendiri berbicara tentang metode yang digunakannya dalam menerima Hadits-Hadits dha’if dan menolak Hadits-hadits shahih semata-mata ditinjau dan segi matannya. Dengan cara semacam ini dia ingin memberikan kesan kepada pembaca bahwa metode penelitian dan koreksi yang ditentukan oleh ilmu Hadits bagi dia sama sekali tidak ada artinya, selama hal itu bertentangan dengan kritik yang logis, padahal metode kritik yang logis berbeda antara seseorang dan yang lainnya. Terkadang suatu hadits yang diterima oleh seseorang ditolak oleh lainnya. Dengan metode semacam ini agama menjadi permainan nafsu, tanpa memiliki kaidah dan prinsip-prinsip baku, dan hanya tergantung pada selera perorangan. Hal ini jelas bertentangan dengan metode yang diikuti oleh para ulama kaum muslim bahwa sanad Hadits merupakan bagian dari agama. Seandainya Hadits itu boleh tanpa sanad, tentu orang akan berbicara sesuka hatinya dan inilah yang dilakukan oleh Ghazali dalam sebagian besar Hadits-Hadits yang dimuat dalam Kitab Sirahnya. Kitabnya memuat sebagian besar Hadits mursal dan mu’dlal. Hadits dhaif dikatakan shahih seperti yang tenlihat dalam takhrij saya terhadap bukunya. Sekalipun demikian ternyata dia tetap keras kepala dengan memberikan pernyataan pernyataan di bawah judul di atas:
“Saya.telah melakukan ijtihad agar dapat menempuh cara yang benar dan merujuk pada sumber-sumber yang dipercaya, dan saya kira saya telah sampai dengan bai k pada tingkatan ini. Saya telah mengumpulkan riwayat-riwayat yang dapat menenangkan hati seorang alim yang berpandangan luas.”
Begitulah dia berujar. Seandainya dia ditanya, apakah kaidah yang Anda pergunakan dalam ijtihad Anda itu, apakah kaidah itu berupa prinsip-pninsip ilmu hadits yang merupakan satu-satunya jalan untuk dapat mengetahui mana riwayat yang shahih dan mana yang dhaif dan Sirah Nabi, jawabnya tentu ia akan mengatakan bendasarkan pemikiran pribadi. Itu adalah salah satu dan bentuk kebobrokannya. Sebagai buktinya, dia berani menshahihkan Hadits yang tidak shahih sanadnya dan dia berani melemahkan hadits walaupun sanadnya shahih menurut Bukhari dan Muslim, seperti yang pernah saya kemukakan pada muqaddimah Kitabnya Fiqhus Sirah di atas dan yang telah dicetak pada terbitan keempat seperti tersebut di atas. Namun sungguh disayangkan pada terbitanterbitan benikutnya, seperti tenbitan Darul Qalam, Damaskus, dan lain lain,muqaddimah itu telah dibuangnya. Hal semacam mi membuat sebagian orang menduga bahwa tujuan penghapusannya pada buku terbitan-terbitan baru tersebut hanyalah mengejar lakunya buku di kalangan pembaca yang telah mampu menghargai kesungguhan para pengabdi Sunnah Nabi dan berusaha dengan keras untuk memilah mana Hadits dha’if dan mana hadits shahih menurut kaidah-kaidah ilmiah, bukan selera pribadi dan dorongan nafsu yang bermacam-macam, seperti dilakukan Ghazali dalam bukunya. Begitu juga yang ia lakukan dalam bukunya yang terakhir berjudul As-Sunnah Nabawiyah Baina AhIiI Fiqhi wa Ahlil Hadits. Di situ nampak jelas bahwa Ghazali menempuh metode Mu’tazilah. Jadi, bagi Ghazali jerih payah ahli hadits yang telah berlangsung puluhan tahun dalam memilah Hadits shahih dari yang dha’if tidak ada artinya. Begitu pula segala jerih payah para imam ahli fiqh yang telah meletakkan kaidah-kaidah ushul dan membuat kaidah-kaidah furu’, tidak ada gunanya, sebab Ghazali bisa mengambil mana saja seenaknya dan meninggalkan mana saja seenaknya, tanpa terikat oleh satu kaidah pun. Banyak ahli ilmu telah melakukan sanggahan terhadap hal ini Mereka telah menjelaskan secara ninci tentang kebingungan dan penyelewengan Ghazali. Tulisan yangterbaik dalam hal ini ialah yang ditulisoleh Dr. Rabi’ bin Hadi AI-Madkhali yang dimuat dalam Majalah AI-Mujahid Afghaniyah no. 9-1 1 dan tulisan Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ‘Au Syaikh dengan judul AI-Mi’yaru ii ‘ilmil Ghazali (Bobroknya ilmu Ghazali).
[11] Baca Kalam Imam Muzani him. 62 dan Kalam Hafizh Ibnu Rajab hlm. 54
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2095-salah-paham-dan-jawabannya.html